Kamis, 12 Maret 2015

Tanaman Transgenik Golden Rice



Golden Rice

Berbicara mengenai bioteknologi pada masa modern ini, pasti tak akan terlepas dari istilah  yang namanya teknologi transgenik. Transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lainnya, baik dari satu tanaman ke tanaman lainnya, atau dari gen hewan ke tanaman. Tanaman transgenik adalah tanaman yang telah disisipi atau memiliki gen asing dari spesies tanaman yang berbeda atau makhluk hidup lainnya. Gen yang telah diidentifikasi dan diisolasi, kemudian dimasukkan ke dalam sel tanaman melalui suatu sistem.  Tanaman inilah yang kemudian disebut sebagai tanaman transgenik. Penggabungan gen asing ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan.
Salah satu contoh tanaman transgenik adalah golden rice. Golden rice adalah padi varietas baru yang berhasil didapatkan melalui sebuah temuan mutakhir dalam bidang bioteknologi tanaman pangan yang bukan merupakan hasil dari persilangan biasa (breeding). Golden rice merupakan padi transgenik hasil rekayasa genetika dimana produk akhirnya dihasilkan tanaman padi yang mengandung beta karoten (pro vitamin A) pada bagian endospermanya. Di dalam tubuh manusia beta karoten ini akan diubah menjadi vitamin A.
Pada umumnya endosperma pada padi biasa tidak menghasilkan beta karoten sehingga padi yang dihasilkan akan berwarna putih sampai putih kusam. Namun lain halnya dengan padi hasil rekayasa genetika ini yang ternyata terdapat kandungan beta karoten pada bagian endospermanya yang menyebabkan warna beras tersebut seperti kuning keemasan. Warna berasnya yang keemasan itulah yang menyebabkan varietas ini disebut dengan golden rice. Golden rice ini memiliki bentuk dan ukuran yang sama seperti beras pada umumnya.
Penggunaan rekayasa genetika untuk produksi golden rice ini disebabkan karena tidak ada plasma nutfah padi yang mampu untuk mensintesis karotenoid.  Golden rice ini awalnya bermula dari sebuah keprihatinan. Salah satu penyebab rentannya anak-anak terkena penyakit adalah kekurangan nutrisi mikro seperti vitamin A atau zat besi. Bila hal tersebut terjadi, sistem kekebalan tubuh mereka akan menurun dan perkembangan tubuh akan terganggu dengan akibat fatal kematian. Di Negara berkembang seperti Amerika Latin, Asia, dan Afrika, jutaan anak-anak terancam buta karena kekurangan vitamin A.
Salah satu upaya untuk menghindari kekurangan nutrisi tersebut adalah dengan mengonsumsi makanan pokok yang mengandung gizi tinggi. Beras merupakan salah satu makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat di negara berkembang. Sehingga akan sangat menguntungkan apabila beras memiliki kandungan provitamin A. Rekayasa padi golden rice ini memang baru terdengar saat keberhasilan tersebut termuat dalam jurnal Science pada tahun 2000. Namun sebenarnya sekitar sepuluh tahun sebelumnya, ilmuwan Jepang telah mengawali mengisolasi gen yang menyandi jalur biosintesa karotenoid dari bakteri fitopatogenik Erwinia uredovora. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa gen CrtI mengkode enzim phytoene desaturase yang bertanggung jawab untuk mengubah phytoene menjadi lycopene. Beberapa tahun berselang, ilmuwan Eropa melaporkan bahwa di dalam biji padi terdapat bahan dasar (prekusor) untuk biosintesa karotenoid, termasuk beta-karoten, yaitu geranyl geranyl diphosphate (GGDP). Namun secara alami biji padi tidak menghasilkan phytoene karena terjadi penghambatan fungsi dari enzim phytoene synthase (PHY) dalam mengubah GGDP menjadi phytoene.
Meskipun demikian, penghambatan fungsi enzim tersebut bisa dihilangkan dengan cara mengintroduksi gen phy dari tanaman daffodil (bunga narsis/ bakung) dengan menggunakan promoter spesifik untuk endosperma. Selain phy dan CrtI, masih ada satu enzim lagi yang diperlukan untuk mengubah lycopene menjadi beta karoten yaitu lycopene cyclase (LYC) yang juga berasal dari tanaman daffodil. Transformasi dengan menggunakan Agrobacterium menunjukkan bahwa modifikasi jalur biosintesa beta karoten berhasil dilakukan. Hal ini terbukti berdasarkan hasil analisa fotometrik dengan menggunakan HPLC (high-performance liquid chromatography) yang menunjukkan adanya karotenoid, termasuk beta karoten, pada golden rice yaitu 1.6 mikrog/g.
Penelitian peningkatan kandungan beta karoten pada golden rice terus dilakukan selama kurang lebih lima tahun. Fokus riset masih bertumpu pada tingkat efisiensi ke-3 jenis gen yang telah diintroduksikan yaitu psy, crtI dan lyc. Sehingga pada akhirnya para ahli tersebut merumuskan hipotesa bahwa gen psy-lah yang paling berperan dalam jalur biosintesa karotenoid tersebut. Untuk menguji kebenaran hipotesa tersebut, mereka mengisolasi dan menguji efisiensi gen psy dari berbagai tanaman seperti arabidopsis, wortel, paprika, jagung, tomat, bahkan padi sendiri. Pengujian awal dilakukan dengan cara overeskpresi gen-gen psy pada callus jagung. Callus dipilih karena sifat integrasinya yang stabil terhadap gen yang ditransformasikan (transgene).
Munculnya golden rice pada tahun 2000 tersebut langsung mendapat reaksi keras dari para oposisi GMO (genetically modified organism). Sebagian masyarakat tidak menyetujui budidaya padi emas karena adanya kekhawatiran akan terjadinya perubahan lingkungan atau ekosistem . Mereka takut golden rice yang ditanam dapat menularkan sifat mutasinya ke tanaman alami lain. Hal ini mungkin terjadi bila golden rice ditanam bersama padi jenis lain dalam satu lahan yang berdekatan sehingga polen (benang sari) golden rice dapat membuahi padi lain. Hal lain yang ditakutkan adalah apabila sifat yang diciptakan oleh ilmuwan ternyata bisa berubah dan melenceng jauh dari yang diharapkan. Masyarakat juga takut mengonsumsi golden rice karena takut akan membahayakan kesehatan.
Namun polemik yang muncul tersebut tidak mematahkan semangat dua peneliti utama golden rice, yaitu Ingo Potrykus dan Peter Beyer, untuk terus berkarya dan melakukan penelitian dengan tujuan lebih meningkatkan kandungan beta karoten pada biji padi. Bahkan untuk menjawab polemik yang muncul tersebut, Ingo Potrykus menulis sebuah artikel dalam jurnal Plant Physiology dengan judul “Golden Rice and Beyond” yang merupakan penjelasan menyeluruh terhadap status golden rice dan bagaimana seharusnya masyarakat umum menyikapinya. Perlu digaris bawahi bahwa, secara umum tanaman pangan transgenik merupakan tanaman yang dianalisa secara paling baik dalam sejarah. Proses pengujian resikonya dilakukan secara detail dan hati-hati. Demikian juga dengan golden rice yang telah menjalani berbagai tes sejak pertama kali dibuat.
Sejauh ini, ahli ekologi dan mereka yang menentang teknologi transgenik menilai bahwa tidak ada pengaruh lingkungan dari padi emas karena secara alami semua tanaman memproduksi karetinoid dalam jumlah yang tinggi. Sehingga endosperma beras yang mengandung beta karoten tidak akan membentuk satu jenis substan baru di lingkungan. Hal yang masih diperdebatkan sampai saat ini adalah dampak introgresi gen transgenik ke tipe liar yang dianggap dapat mengancam biodiversitas lokal atau mengubah pola tani tradisional. Peralihan fungsi tanaman transgenik menjadi gulma didasari pada sifat dasar tanaman untuk menjadi gulma dengan tingkatan yang beragam. Banyaknya kasus gizi buruk termasuk kekurangan vitamin A menjadikan golden rice sebagai makanan pokok yang dapat membantu mensuplai vitamin A bagi mereka yang tidak mampu membeli makanan yang mengandung vitamin A dalam memenuhi asupan kebutuhan gizi sehari-hari.
Manfaat dari pembuatan beras emas (golden rice) adalah mampu menyediakan rekomendasi harian yang dianjurkan dari vitamin dalam 100-200 gram beras sehingga dengan mengkomsumsi beras emas (golden rice) ini dapat menyediakan kebutuhan vitamin A dan karbohidrat yang diperlukan oleh tubuh. Mengatasi kekurangan vitamin A karena mengandung beta karoten tinggi. 
Kerugian dari Golden Rice adalah kekhawatiran terhadap golden rice dalam hal kesehatan antara lain karena ada kekhawatiran zat penyebab alergi (alergen) berupa protein dapat ditransfer ke bahan pangan, terjadi resistensi antibiotik karena penggunaan marker gene, dan terjadi outcrossing, yaitu tercampurnya benih konvensional dengan benih hasil rekayasa genetika yang mungkin secara tidak langsung menimbulkan dampak terhadap keamanan pangan. Terhadap lingkungan dan perdagangan, pangan hasil rekayasa genetika (PRG) dikhawatirkan merusak keanekaragaman hayati, menimbulkan monopoli perdagangan karena yang memproduksi PRG (dalam hal ini Golden rice) secara komersial adalah perusahaan multinasional, menimbulkan masalah paten yang mengabaikan masyarakat pemilik organisme yang digunakan di dalam proses rekayasa, serta pencemaran ekosistem karena merugikan serangga nontarget misalnya.
Daftar pustaka
Anonymous. The Golden Rice Project. http://www.golden rice.org. 2005 Diakses pada tanggal 9 Maret 2015 Pukul 19.00 WIB
Emeritus, et al. Plant Physiology. Vol. 125 no. 3 1157-1161. http://www.plantphysiology.org. 2011 Diakses pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 21.00 WIB
Hadiarto, T. Padi Emas: Salah Satu Jawaban untuk Kebutuhan vitamin A. 2005 Diakses pada tanggal 10 Desember 2015 pukul 16.00 WIB
Ivan, F.X. The End of Golden Rice Controversy. Atma Nan Jaya. Volume 20 no. 2. http://lib.atmajaya.ac.id. 2005 . Diakses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 19.30 WIB